6 Desember 2024

ZONA KONTEN

Info Menarik dan Terpercaya

Implikasi dan Tantangan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia

Implikasi dan Tantangan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia

<a href="https://www.freepik.com/free-photo/high-angle-arrangement-different-foods_12143099.htm#fromView=search&page=1&position=21&uuid=d67a8d0b-ec80-40cd-a181-8b0ed3e24b28">Image by freepik</a>

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia yang bertujuan untuk mengatasi masalah kekurangan gizi anak-anak telah menarik perhatian media asing karena kekhawatiran akan dampak keuangan negara. Inisiatif ini, yang merupakan bagian dari agenda ambisius Prabowo Subianto dan janji penting dalam kampanye presidensialnya, mendapatkan sorotan dan kritik yang signifikan.

Menurut artikel yang berjudul ‘Indonesia taps Japan, India, China expertise for free school meals as Prabowo battles cost concerns’ dari South China Morning Post (SCMP), program MBG ditujukan untuk memberikan makanan kepada 83 juta anak-anak kurang mampu dan diperkirakan akan membutuhkan biaya sebesar Rp 71 triliun atau sekitar US$ 4,35 miliar pada tahun 2025. Saat ini, sebagian besar sekolah di Indonesia belum menyediakan makanan gratis bagi siswanya.

SCMP melaporkan pada Jumat (12/7/2024) bahwa tim Prabowo telah mempelajari berbagai negara seperti Jepang, China, dan India yang telah berhasil menerapkan dan mengelola program-program serupa dengan menggunakan dana secara bijaksana.

Penerapan MBG diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 2,6% dan diperkirakan akan menghabiskan biaya hingga Rp 450 triliun pada tahun 2029 jika diterapkan sepenuhnya. Untuk mencapai hal ini, pemerintahan Prabowo sedang mempertimbangkan langkah-langkah seperti penegakan pajak yang lebih ketat dan pengurangan anggaran untuk proyek relokasi ibu kota Jokowi senilai US$ 32 miliar (Rp 516,8 triliun).

Namun, program ini telah mendapat kritik dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) karena kekhawatiran bahwa program ini dapat meningkatkan defisit anggaran negara. Tim Prabowo telah menjamin bahwa mereka akan menjaga rasio utang tetap dalam batas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), naik dari 2,3% saat ini.

Muhammad Rafi Bakri, seorang analis data dan keuangan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menyoroti kebutuhan anggaran yang besar untuk program ini. Dia mengakui kekhawatiran akan biaya ini, mengingat pengeluaran besar Indonesia, termasuk relokasi ibu kota.

Mengambil Pelajaran dari Tiga Negara

Prabowo dan timnya telah beberapa kali melakukan kunjungan ke Jepang untuk mempelajari program makan siang gratis mereka yang sukses. Di Jepang, hampir 99% sekolah dasar menyediakan makan siang pada tahun 2023, meskipun beberapa siswa membayar rata-rata US$ 300 atau sekitar Rp 4,85 juta per tahun. Banyak pemerintah kota yang sepenuhnya mensubsidi biaya ini.

Selain Jepang, Indonesia juga mempelajari program makan siang gratis di India. Pada bulan April, Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka menyebutkan bahwa tim Indonesia telah dikirim ke India untuk memahami program makan siang gratis mereka. Menurut Gibran, Duta Besar India untuk Indonesia, Sandeep Chakravorty, menginformasikan bahwa program di India menghabiskan biaya sebesar 11 sen AS per anak per hari karena efisiensi logistik. Sebagai perbandingan, tim Prabowo memperkirakan biaya sebesar 94 sen AS per anak per hari untuk program di Indonesia.

Sementara itu, Josua Pardede, Kepala Ekonom di Permata Bank, menyoroti bahwa Tiongkok dan India menyesuaikan program makan siang gratis mereka dengan kebutuhan dan faktor lokal. Di India, pendanaan untuk memberikan makan siang setiap hari kepada lebih dari 100 juta siswa dibagi antara pemerintah pusat dan daerah, dengan kontribusi masing-masing sebesar 60% dan 40%.

Tiongkok memulai kebijakan makan siang gratis pada tahun 2011, dengan fokus khusus pada daerah pedesaan miskin dan telah berhasil mencapai sasaran mereka. Tidak seperti Tiongkok dan India, produksi pangan di Indonesia sering berfluktuasi setiap tahunnya, sehingga harus diimpor untuk memenuhi kekurangan.

Menurut Pardede, kekhawatiran tentang kemampuan Indonesia untuk mendanai program ini wajar mengingat posisi keuangan yang lemah dan ketergantungan yang besar pada ekonomi berbasis komoditas yang rentan terhadap fluktuasi harga.

Secara kesimpulan, meskipun program MBG di Indonesia bertujuan untuk mengatasi tantangan sosial yang signifikan seperti kekurangan gizi anak-anak, implementasinya dihadapkan pada tantangan keuangan yang besar dan perhatian yang ketat. Dengan mempelajari model internasional yang sukses di Jepang, India, dan Tiongkok, para pembuat kebijakan Indonesia berupaya menjaga keseimbangan antara tujuan sosial yang ambisius dengan pengelolaan keuangan yang berkelanjutan untuk memastikan keefektifan dan keberlanjutan program ini dalam jangka panjang.